Hallo Akademia di tengah gegap gempita transformasi digital, pendidikan di Indonesia seolah melangkah ke masa depan yang menjanjikan. Sekolah daring, platform pembelajaran digital, hingga kecerdasan buatan kini menjadi bagian dari ekosistem pendidikan modern. Namun di balik kemajuan itu, muncul pertanyaan penting: apakah semua peserta didik di Indonesia memiliki akses yang sama terhadap teknologi pendidikan?
Pertanyaan ini membawa kita pada realitas yang sering kali terlewat — bahwa kemajuan teknologi justru bisa memperlebar jurang ketimpangan, bukan menutupnya.
Era Digital dan Paradigma Baru Pendidikan
Sejak pandemi COVID-19, dunia pendidikan mengalami lonjakan besar dalam pemanfaatan teknologi. Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan bahwa lebih dari 68 juta pelajar di Indonesia sempat beralih ke sistem pembelajaran daring.
Perubahan ini menciptakan paradigma baru: belajar tak lagi dibatasi ruang kelas, melainkan bisa dilakukan dari mana saja dengan bantuan internet dan perangkat digital.
Namun, keberhasilan digitalisasi pendidikan tak bisa hanya diukur dari ketersediaan platform atau aplikasi. Akses yang merata terhadap teknologi menjadi prasyarat utama agar setiap anak — dari Sabang hingga Merauke — memiliki kesempatan belajar yang setara.
Wajah Ketimpangan Akses Pendidikan di Indonesia
a. Kesenjangan Infrastruktur Digital
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024), hanya sekitar 76% rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses internet. Jika dipersempit lagi, di wilayah perkotaan angka ini mencapai 92%, sedangkan di pedesaan hanya sekitar 52%.
Artinya, hampir separuh siswa di desa masih menghadapi kendala dalam mengakses materi belajar berbasis digital.
Selain itu, kualitas jaringan juga menjadi masalah. Banyak daerah di Indonesia timur seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua masih mengalami sinyal lemah dan keterbatasan bandwidth. Ketika sekolah di Jakarta sudah menggunakan pembelajaran berbasis AI atau LMS (Learning Management System), di sisi lain masih ada siswa yang harus berjalan ke bukit hanya untuk mendapatkan sinyal.
b. Kesenjangan Sosial-Ekonomi
Ketimpangan juga tampak dari kemampuan ekonomi keluarga. Hasil survei UNICEF (2023) menyebutkan bahwa 1 dari 3 anak di Indonesia tidak memiliki perangkat belajar sendiri, seperti smartphone, laptop, atau tablet.
Banyak siswa di keluarga berpenghasilan rendah harus berbagi satu ponsel untuk beberapa anggota keluarga. Hal ini menghambat partisipasi penuh mereka dalam kegiatan belajar daring.
c. Ketimpangan antar Sekolah
Sekolah negeri di perkotaan cenderung lebih cepat beradaptasi dengan digitalisasi, karena memiliki dukungan dana BOS, koneksi internet, dan pelatihan guru yang memadai.
Sementara itu, sekolah di pedesaan atau swasta kecil masih tertinggal dalam hal fasilitas dan literasi teknologi.
Kesenjangan ini diperkuat dalam hasil penelitian “Bridging the Digital Divide in Education” (Undiksha, 2023) yang menemukan bahwa guru di daerah pedesaan menghadapi lebih banyak kendala teknis dan infrastruktur dibandingkan guru di perkotaan.
Baca Juga: Ketika Robot Mulai Menggantikan Manusia: Siapkah Indonesia Menghadapi Era Otomasi?
Literasi Digital: Antara Kesempatan dan Hambatan
Teknologi tidak hanya soal perangkat keras, tapi juga soal kemampuan memanfaatkannya. Di sinilah literasi digital memainkan peran penting.
Survei Kemendikbud (2024) menunjukkan hanya 57% guru yang merasa cukup percaya diri menggunakan teknologi digital untuk kegiatan belajar mengajar. Sementara itu, siswa yang memiliki literasi digital tinggi masih terkonsentrasi di kota besar.
Temuan ini sejalan dengan studi “Bridging the Digital Divide: Assessing and Advancing Teachers’ Digital Literacy across Indonesian Provinces” (UIN Said, 2024) yang menegaskan bahwa perbedaan tingkat literasi digital guru antarprovinsi berpengaruh besar terhadap kualitas pembelajaran daring.
Contoh nyata terlihat saat pelaksanaan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK). Di banyak daerah, sekolah masih harus meminjam laptop, menggunakan perangkat bergantian, atau bahkan kesulitan menjalankan aplikasi karena keterbatasan listrik dan koneksi.
Ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan cerminan ketimpangan literasi digital yang nyata di dunia pendidikan Indonesia.
Dampak Ketimpangan Digital terhadap Kesetaraan Pendidikan
Ketimpangan akses teknologi tidak hanya memengaruhi proses belajar, tetapi juga memperdalam kesenjangan hasil belajar (learning outcomes).
Siswa di daerah perkotaan cenderung lebih mudah mengakses sumber belajar tambahan seperti video interaktif, simulasi virtual, dan kursus online. Sebaliknya, siswa di daerah pedesaan bergantung pada buku teks cetak atau catatan guru yang terbatas.
Hal ini berimplikasi langsung pada kualitas pendidikan nasional. The World Bank (2023) mencatat bahwa ketimpangan digital di Indonesia berkontribusi terhadap “learning loss” yang signifikan — terutama setelah pandemi. Siswa dari keluarga miskin kehilangan hingga 30% waktu belajar efektif dibandingkan siswa dari keluarga mampu.
Penelitian lain dari Jurnal Kependidikan Undikma (2023) juga menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran semi-online bisa menjadi solusi efektif untuk wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) di Indonesia yang masih menghadapi keterbatasan konektivitas.
Upaya Pemerintah dan Inovasi Digital Pendidikan
Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Sejumlah langkah strategis telah dilakukan, di antaranya:
- Program Merdeka Belajar – Kampus Merdeka (MBKM) yang mendorong integrasi teknologi dalam pembelajaran.
- Platform Merdeka Mengajar, sebagai wadah sumber belajar digital untuk guru dan siswa.
- Program Indonesia Digital School (IDS) untuk memperluas jaringan internet ke sekolah-sekolah di daerah tertinggal.
- Kemitraan dengan startup edutech seperti Ruangguru, Zenius, dan Quipper untuk memperluas akses materi pembelajaran digital.
Namun, tantangan masih besar. Distribusi perangkat, pelatihan literasi digital, dan pemerataan infrastruktur harus dilakukan secara berkelanjutan agar transformasi digital tidak hanya berhenti di kota besar.
Kajian literatur dari INJOE Journal (2024) menekankan bahwa peningkatan infrastruktur digital perlu disertai kebijakan redistribusi guru agar pemerataan kualitas pendidikan tercapai di seluruh provinsi.
Jalan Menuju Keadilan Digital dalam Pendidikan
Mewujudkan keadilan digital dalam pendidikan membutuhkan sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
- Pemerataan Infrastruktur
Pembangunan jaringan internet harus menyasar daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) dengan prioritas tinggi, bukan hanya area ekonomi produktif. - Subsidi Perangkat dan Internet untuk Siswa Kurang Mampu
Kebijakan afirmatif seperti voucher data pendidikan atau program donasi perangkat digital perlu diperluas agar siswa dari keluarga prasejahtera tidak tertinggal. - Pelatihan Literasi Digital bagi Guru dan Orang Tua
Guru bukan hanya pengguna teknologi, tetapi fasilitator literasi digital. Pendampingan berkelanjutan perlu dilakukan agar mereka mampu mengintegrasikan teknologi secara efektif dan etis. - Kolaborasi Edutech dan Pemerintah Daerah
Startup pendidikan lokal bisa berperan besar dengan menciptakan konten berbasis kearifan lokal dan bahasa daerah, sehingga lebih relevan bagi siswa di berbagai wilayah.
Penutup: Mimpi Pendidikan yang Setara di Era Digital
Teknologi seharusnya menjadi jembatan kesetaraan, bukan tembok pemisah.
Di era digital ini, akses terhadap pengetahuan adalah hak dasar setiap warga negara, bukan hak istimewa bagi yang mampu membeli gawai atau berlangganan internet cepat.
Ketimpangan akses pendidikan di Indonesia bukanlah masalah yang tak terpecahkan. Namun ia menuntut kesadaran bersama — bahwa transformasi digital sejati bukan hanya tentang perangkat, tetapi tentang keadilan, empati, dan komitmen untuk tidak meninggalkan siapa pun di belakang.
Daftar Referensi:
- BPS Indonesia (2024)
- UNICEF Indonesia (2023)
- Bridging the Digital Divide in Education – Undiksha (2023)
- Bridging Teachers’ Digital Literacy – UIN Said (2024)
- INJOE Journal (2024)


